Variasi sosial penggunaan bahasa register

  1. 1.         Pendahuluan

Manusia adalah mahluk yang tidak bisa hidup sendiri melainkan selalu berintraksi dan berkomoniasi dengan mahluk sosial lainnya,untuk keperluan tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai alat komonikasi sekaligus bahasa kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya kepelbagian bahasa didunia yang memiliki ciri ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya.

Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia diabad moderen menunjukkan fenomena yang berubah ubah antara lain dibuktikan dengan penggunan bahasa sebagai alat tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti variasi jargon,slang dan register.

Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain : status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa. Faktor-faktor situasional seperti itu sejalan dengan rumusan Fishman : Who speaks what language to whom and when (dalam Pride and Holmes, 1979:15). Dengan demikian, setiap bentuk bahasa yang dipengaruhi oleh berbagai kontek dengan masyarakat pemakaiannya merupakan tulisan sosiolinguistik.

 

  1. 2.        Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah;

  1. Memenuhi tugas mata kulh sosiolinguistik
  2. Mengetahui dan memahami penggunaan dan variasi bahasa register
    1. 3.                  Manpaat penulisan makalah
    2. mendapatkan pengetahuan tentang variasi bahasa
    3. menambahkan wawasan kita mengenai variasi bahasa dan penggunannya dalam kehidupan sosial
    4. 4.             Batasan makalah

Makalah ini membahas mengenai variasi yang dibatasi pada penggunaan bahasa register

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pembahasan

  1. 1.       Variasi bahasa

Variasi sebagai langgue mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh penutur bahasa,penutur berada dalam masyrakat hetrogen sehingga wujud bahasa menjadi bervariasi. Variasi dalam bahasa prancis variate yang berarti ragam atau jenis. Adanya variasi bahasa tidak  mutlak disebabkan adanya penutur, akan tetapi adanya intraksi sosial yang dilakukan oleh penutur. keragaman bahasa akan semakin bertambah apabila bahasa tersebut ddigunakan oleh penutur yang banyak serta berada dalam wilayah yang luas.

Variasi bahasa berkaitan dengan penggunaanya atau fungsinya disebut fungsilek atau bisa juga disebut dengan register (nababan 1984 dalam chaer).

Variasi ini biasa dibicarakan dalam bidang penggunaan bahasa,gaya atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa dalam bidang pemakian ini adalah menyangkut variasi digunakan dalam bidang tertentu. Misalkan dalam bidang jurnalis, sastra, kedokteran, pelayaran pertanian dan bidang keilmuan lainnya.

Dalam pembicaran dan permasalahan dalam register biasanya dikaitkan dengan masalah dialek, kalau dialek dikaitkan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa,dimana dan kapan maka register berkaitan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.dalam kehidupan mungkin saja seseorang hidup dalam satu dialek misalnya seseorang yang hidup terpencil didaerah gunung atau ditepi hutan tetapi dia pasti tidak hidup dengan satu register sebab kehidupannya didalam masyrakat bidang kehidupan yang digeluti pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan moderen pun ada kemungkinan seseorang yang menggunakan hanya satu dialek namun kemungkinan tersebut kecil sekali karena masyrakat pada umumnya menggunakan lebih dari satu dialek  regional maupun sosial dan menggeluti beberapa register sebab dalam masyrakat moderen orang sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.

 

  1. 2.      Pengertian dan konsep bahasa register

Register adalah variasi linguistik yang disesuaikan dengan konteks pengguna bahasa ( haliday;1972). Ini berarti bahwa bahasa yang akan digunakan akan berbeda beda tergantung pada situasi dan jenis media yang digunakan. Sebagai contoh siaran berita cuaca di inggris akan tergantung pada tiga faktor pertama topik atau bidangnya yaitu cuaca diinggris, kedua tenornya yaitu cara penyajian berita oleh presenter ketiga mode komonikatifnya yaitu ucapan tulisan dan tampilan visual dalam bentuk pita dan lambang lambang.( linda tomas; 2007.97).

  1. 3.      Konsep Register Berdasarkan Perspektif Sosiolinguistik

Pada mulanya register digunakan oleh kelompok-kelompok profesi (pekerjaan) tertentu. Bermula dari adanya usaha orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat, tepat, dan efisien di dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapan-ungkapan khusus. Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling mengetahui karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama. Akibat dari interaksi semacam itu akhirnya bentuk tuturan (kebahasaannya) akan menunjukkan ciri-ciri tertentu, misalnya pengurangan struktur sintaktik, pembalikan urutan kata yang normal dalam kalimat (Holmes, 1992:276-282).Oleh sebab itu, ciri-ciri tuturan (kebahasaan) mereka selain akan mencerminkan identitas kelompok tertentu, juga dapat menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguis dengan pemahaman yang berbeda-beda. Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). yakni menunjuk pada variasi bahasa yang mencerminkan perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi (seperti tempat/waktu, topik pembicaraan). Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kebanyakan para sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda. Karena perbedaan ragam dan register tidak begitu penting maka kebanyakan para sosiolinguis tidak begitu mempermasalahkannya. Dengan demikian, berdasarkan pada situasi pemakaiannya, Chaer (1995:90) menjelaskan bahwa variasi bahasa akan berkaitan dengan fungsi pemakaiannya, dalam arti setiap bahasa yang akan digunakan untuk keperluan tertentu disebut dengan fungsiolek, ragam, atau register.

Di dalam buku Sosiolinguistik II (Depdikbud, 1995:164) dikemukakan bahwa slang dalam bahasa Inggris disebut register. Slang atau register merupakan bagian leksikal, yang termasuk bidang yang disebut unsur bahasa tidak baku. Unsur tidak baku tersebut mencakup (1) kata-kata dengan gaya tertanda yaitu kata-kata ekspresif yang digunakan sehari-hari dan (2) kata-kata yang ditentukan secara sosial yang penggunaannya terbatas pada kelompok sosial dan profesi tertentu.

Sementara itu, Wardaugh (1986:48), memahami register sebagai pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial tertentu. Misalnya pemakaian bahasa para pilot, manajer bank, para penjual, para penggemar musik jazz, perantara (pialang), dan sebagainya. Konsep Wardaugh ternyata lebih jelas dibandingkan dengan konsep Holmes.

Ferguson (1994) dalam kaitannya dengan konsep register berpendapat sebagai berikut.

A communication situation that recurs regularly in a society (in term of participants, setting, communicative functions, and so forth) will tend overtime to develop identifying markers of language structure and language use, different from the language of other communication situations.

‘Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam masyarakat (dalam hal partisipan, tempat, fungsi-fungsi komunikatif, dan seterusnya) akan cenderung berkembang sepanjang waktu mengidentifikasikan penanda struktur bahasa dan pemakaian bahasa, yang berbeda dari bahasa pada situasi-situasi komunikasi yang lainnya.’

Dijelaskan oleh Ferguson bahwa orang yang terlibat dalam situasi komunikasi secara langsung cenderung mengembangkan kosa kata, ciri-ciri intonasi sama, dan potongan-potongan ciri kalimat dan fonologi yang mereka gunakan dalam situasi itu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian itu akan memudahkan komunikasi yang cepat, sementara ciri yang lain dapat membina perasaan yang erat.

 

  1. 4.      Konsep Register Menurut Linguistik Sistemik Fungsional

Halliday (1978:32) menjelaskan bahwa register adalah suatu bentuk prediksi, dalam arti untuk mengetahui situasi dan konteks sosial pemakaian bahasa, bahasa yang akan terjadi dan dipakai. Dengan demikian, fenomena pemakaian register tentunya akan mengalami suatu perkembangan, baik dari khazanah kosa kata dan ungkapan-ungkapannya, maupun perkembangan dalam pengacuan maknanya. Adapaun ciri-ciri register itu antara lain:

  1. variasi bahasa berdasarkan penggunaannya dan ditentukan berdasarkan   apa yang sedang dikerjakan (sifat kegiatan yang menggunakan bahasa).
  2. mencerminkan proses sosial (berbagai kegiatan sosial).
    1. register menyatakan hal yang berbeda sehingga cenderung berbeda dalam hal semantik, tatabahasa, dan kosakata (jarang dalam bidang fonologi). (Halliday, 1994:58-59)

Register oleh Halliday tidak hanya membahas soal variasi pilihan kata saja, tetapi akan melingkupi pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, kohesi dan leksikogramatika., serta pilihan fonologi dan grafologinya. Oleh karena register meliputi keseluruhan aspek kebahasaan maka sering register disebut juga sebagai gaya tutur (style). Variasi pilihan bahasa di dalam register akan terikat pada konteks situasi yang meliputi 3 variabel, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Medan akan merujuk apa yang terjadi sebagai gambaran proses sosial, apa yang sedang dilakukan partisipan dengan bahasa, dan lingkungan tempat terjadinya; pelibat akan menunjuk pada siapa saja yang berperan di dalam kejadian sosial, bagaimana sifat-sifatnya, status dan peran sosial yang dimiliki; sarana akan menunjuk pada apa yang diperankan dengan bahasa (persuasif, ekspositoris, atau didaktis)saluran apa yang digunakan (tulis atau lisan). Ketiganya bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.

Seperti yang telah sedikit disebutkan di atas register merupakan konsep semantis yang dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara: medan, pelibat dan sarana di dalam konteks situasu tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di dalam konfigurasi itu. Dengan demikian register bukan semata-mata merupakan konsep bentuk. Jika di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register memerlukan bentuk-bentuk ekpresi tertentu, hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi diperlukan untuk mengungkapkan makna yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut. Dalam pengertian ini register sama dengan pengertian style atau gaya bahasa yaitu suatu varuan bahasa yang berdasarkan penggunaannya (lihat Lyons, 1981, 1987). Bahkan Fowler mengatakan bahwa register atau gaya termasuk penggunan bahasa dalam karya sastra seperti puisi, novel, drama dan lain sebagainya (1989). Ia berpendapat walaupun para sastrawan mengklim bahwa karya sastra merupakan dunia kreasi tersendiri, yang merupakan second order semiotic system (sistem semiotika tingkat kedua) dan bahasa sebagai medianya hanya merupakan first order semiotic system (sistem semiotika tingkat pertama), keseluruhan sistem semiotik tersebut baik yang tingkat pertama maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan sebagai media karya sastra tersebut.

  1. Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang terjadi: apa yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan kejadian seperti: kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa kejadian itu terjadi dan sebagainya. Di dalam contoh ‘rembug desa” di atas, medan emrujuk pada peristiwa rembug desanya itu sendiri, cara yang digunakan dalam rembug desa tersebut, yaitu: musyawarah, topik yang dibahas, tempat dan waktu musyawarah, serta mengapa musyawarah itu dilaksanakan. Aspek medan ini di dalam teks dapat dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi, transifitas, sistem klausa, sistem grup, (nimona, verba dan adjunct), serta sistem leksis: abstraksi dan teknikalitas, serta ciri-ciri dan kategori semantiknya.

  1. Pelibat (tenor) merujuk pada siapa yang berperan di dalam kejadian sosial tersebut, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: macam peran sosial yang bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau peran permanen atau sesaat, disamping juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam contoh yang termasuk di dalam pelibat ialah: partisipan: lurah, punggawa desa, dan masyarakat, serta hubungan peran dan status sosial mereka seperti yang tampa pada bahasa yang mereka gunakan untuk mengekspresikan hubungan peran serta status sosial mereka masing-masing. Aspek pelibat ini juga mempunyai 3 sub-bagian, yaitu: afek, status dan kontak. Afek ialah penilaian (assesment, evaluation dna judgement) antar partisipan di dalam teks. Penilaian ini secara umum dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu: penilaian positif atau negatif. Akan tetapi di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya untuk penilaian positif dapat dikatakan apakah partisipan mendukung, setuju pendapat partisipan yang lain, apakah partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain dan sebagainya. Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang meyerang, mengkritik, mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya. Dari penilaian inilah sebetulnya peneliti dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan yang lainnya. Dalam sistem kebahasaannya, afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem fonologi/grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau proposal, transitifitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek pelibat yang kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran partisipannya. Secara umum, hubungan peran dan status sosial ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: hirarkis/vertikal, dan non-hirarkis/horisontal. Di dalam analisis, status sosial dan hubungan peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial apa yang sedang diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran sosial partisipan lebih bersifat otoriter, tertutup seperti atasan-bawahan, dokter-pasien, dan lain sebagainya, atau mungkin lebih bersifat demokratos, terbuka seperti hubungan antar anggota parlemen, antar dosen, antar mahasiswa, dan sebagainya. Secara semiotis, hubungan status dan peran sosial ini dapat dilihat melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau atitudinal, struktur mood, proposisi atau proposal, transitifitas, struktur tema, kohesi, dan struktur teks beserta genrenya. Subaspek yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi penggunaan bahasa yang sedang digunakan di dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang digunakan tersebut familiar atau tidak, artinya semua partisipan yang terlibat di dalamnya memahami dan menegrti bahasa yang sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal) tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut kontak ini menyangkut tingkat keterbatasan (readibility) suatu teks yang sedang digunakan, maksudnya apakah teks ini terlalu sulit, sulit, mudah atau terlalu muda untuk dimengerti. Untuk mencari tahu kontak (afamiliaritas dan keterbacaan ini) seluruh aspek kebahasaan, dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terendah (struktur teks : jelas pembukaan, isi dan penutuonya atau membingungkan, linier atau spiral (dalam bahasa Jawa ‘mbulet’), kohesi: rujukannya jelas atau membingungkan, sistem klausanya: simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks kompleks dengan embbeding,sistem grupnya (nomina, verba, adjunct): simpleks atau kompleks, sistem leksisnya: kingruen atau inkongruen, menggunakan abtraksi atau teknikaliats, serta fonologi atau grafologinya harus diukur.
  2.  Sarana (mode) merujuk pada bagian mana yang diperankan oleh bahasa, apa yang diharapkan partisipan dengan menggunkan bahasa dalam situasi tertentu itu: organisasi simbolis teks, status yang dimilokinya, fungsinya di dalam konteks tersebut, termasuk saluran (channel) (apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis atau lisan atau gabungan?) termasuk di dalamnya sarna retorisnya: apakah yang diinginkan teks tersebut termasuk dalam kategori: persuasif, ekspositpri, didaktis atau yang lainnya. Di samping itu aspek sarana ini juga melibatkan medium yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah mediumnya bersifat lisan dengan one-way (satu arah) atau two-way (dua arah) communication: audio, audio-visual, misalnya: tutorial, pidato, siaran radio atau televisi, dialog, seminar, kotbah dan lain sebagainya: atau tulis/cetak yang bersifat komunikasi satu arah atau dua arah seperti: koran, majalah, tabloit, spanduk, papan iklan, surat menyurat dan lain sebagainya.

 

 

5        Perbedaan Register dan Dialek

Dialek Register
 Variasi bahasa berdasarkan ‘user’ dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan setiap hari, dan ditentukan oleh secara geografis atau sosiologis ‘siapa anda’ (daerah &/atau asal klas sosial &/atau klas sosial yang diadopsi.

Dialek menunjukkan struktur sosial atau tipe hirarki sosial yang dimiliki oleh penggunanya.

Oleh karena itu pada dasarnya dialek adalah mengatakan hal yang sama secara berbeda. Maka dialek cenderung berbeda dalam hal: fonetik, fonologi, kosa kata, dan dalam beberapa hal tatabahasa; tetapi tidak pernah berbeda di dalam semantik.

Contoh sekstrem dialek ini adalah: ‘anti-bahasa’, prokem, dan ‘bahasa ibu’.

Contoh-contoh lainnya, misalnya: variasi sub-kultur, kasta, klas sosial, keaslian (rural atau urban), generasi (orang/anak), usia (tua/muda, dan seks (pria/wanita) lihat juga Chambers dan Trudgill, 1980: Lyons, 1981 untuk membandingkan dengan register.

 Variasi bahasa berdasarkan ‘use’-nya. Register adalah bahasa yang digunakan pada saat tertentu; dan dietntukan oleh: apa yang anda kerjakan, dengan siapa dan dengan menggunakan sarana apa.

 Register menunjukkan tipe pro-ses sosial yang sedang terjadi.

Oleh karena itu pada hakekatnya register mengata-kan hal yang berbeda. Maka register cenderung berbeda dalam bidang: semantik dan oleh karena itu berbeda tatabahasa dan kosa katanya (seperti ekspresi makan), tetapi jarang berbeda dalam fonologinya (menuntut kuali-tas suara yang khas).

Contoh ekstrem register ialah: bahasa terbatas, dan bahasa untuk tujuan khusus. Contoh lainnya, mislanya: variasi profesi (ilmiah, tehnologis), kelembagaan (doktor-pasien; guru-murid) dan konteks-konteks lain yang mempunyai struktur dan strategi tertentu (seperti : dalam diskusi belanja, ngobrol, dll).

Diambil dari (Halliday dan Hasan, 1985 dengan modifikasi)

Yang perlu diperhatikan selanjutnya ialah bahwa di dalam dialek anggota masyarakat mempunyai ikatan afektif yang sangat kuat dengan dialeknya, sehubungan dengan fungsi dialek dalam mengekspresikan setra mengatur hirarki sosial. Oleh karena itu satu dialek mungkin mempunyai status tertentu sebagai simbol nilai-nilai masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu register merupakan konfigurasi semantik yang secara khusus dihubungkan dengan konteks situasi tertentu (seperti yang ditentukan oleh: medan, pelibat dan sarana tertentu).

Akan tetapi garis batas antara register dan dialek tidak selalu kelihatan jelas, ada titik-titik tertentu yang menunjukkan dimana dialek dan register saling tumpang tindih (overlapping). Misalnya dalam dunia kerja terdapat pembagian tingkatan pekerja (buruh, staf, pegawai, manager, dan direktur), yang setiap anggota tingkatan mempunyai peran sosial yang berbeda, dengan demikian dalam register tertentu memerlukan dialek (misalnya register birokrasi memerlukan dialek standar) lihat juga contoh-contoh dialek dalam Chambers dan Trudgill overlap dengan register, 1980). Di lain pihak ada kelompok-kelompok sosial yang cenderung mempunyai konsep makna register yang berbeda dalam mengekspresikan satu situsi tertentu. Dalam kasus ini banyak penelitian di dalam dunia pendidikan pada anak-anak yang berasal dari kelas sosial yang berbeda.

 

Contoh penggunaan register

P              : Pan, arep menyang ngendi? ‘Pan, mau pergi kemana?’

MT         : Arep mulih, sik. ‘Mau pulang dulu’

P              : Kuwi brompite sapa? ‘Itu sepeda siapa?’

MT         : Lekku. Sik yo, mulih sik. ‘Pamanku. Sudah ya, pulang dulu’

P              : Melu! ‘Ikut!’

MT         : Rasah! ‘Tidak usah!’

P              : Aku arep dolan-dolan dhisik kok. ‘Aku mau main-main dulu kok.’

MT         : O, kancil ki! ‘O, dasar kancil!’ Tampak dari data, bahasa yang dipergunakan antar  pengamen adalah bahasa Jawa ngoko.

Tuturan di atas diucapkan oleh dua   orang pengamen KAPAS yang berusia sebaya  yang memiliki hubungan kedekatan akrab, dan

bersifat informal. P (penutur) dalam konteks situasi tersebut sedang beroperasi mengamen

(mendapat jatah siang), sementara MT (mitra tutur) sudah selesai mengamen karena mendapat jatah pagi. Begitu P melihat MT membawa sepeda maka P berkeinginan ikut MT, tetapi oleh MT tidak diperbolehkan karena MT memiliki arah tujuan lain dengan P. Atas penolakan tersebut, P kemudian mengeluarkan kata-kata makian sebagai bentuk protes atas jawaban MT, yaitu dengan mengucapkan: “O, kancil ki!” ‘O, dasar kancil!’ Tuturan tersebut diucapkan dengan intonasi tinggi yang menandakan kemarahan. Dalam konteks tersebut, kata kancil merupakan pengkiasan untuk menggambarkan sifat seseorang yang disamakan dengan sifat binatang. Umumnya binatang kancil digambarkan berperangai licik atau pandai mengelabui orang lain. MT berlaku seperti itu karena emosi, marah, dan kecewa dengan P sehingga keluarlah makiannya dimana menyamakan MT dengan binatang. Warna emosi yang dihasilkan penutur dipengaruhi adanya situasi yang kurang atau tidak menyenangkan karena MT merasadikecewakan P. Dalam hal ini P menolak atau tidak mengijinkan MT mengikutinya.Sebagai contoh,

P              : Numpang ngamen, Bu. ‘Numpang mengamen, Bu.’

MT         : Lagi sepi, mas.‘Baru sepi, mas. Dari tuturan data tersebut masing-masing penutur memberikan kontribusi secukupnya, dalam arti P memberitahukan kepada MT perihal

dirinya yang akan mengamen di tempat MT dengan menuturkan kalimat permintaan:

Numpang ngamen, Bu.” ‘Numpang mengamen, Bu’ dan ditanggapi secara langsung oleh MT dengan menuturkan kalimat penolakan: “Lagi sepi, mas” ‘Baru sepi, mas. Dalam dunia pengamen, kata numpang ngamen ‘numpang mengamen’ sering digunakan

pengamen untuk mengawali kegiatan mengamen. Hal ini ada korelasinya dengan maksud para pengamen yaitu bermaksud meminta ijin kepada  orang yang dituju. Jika orang yang dimaksud memberikan ijin maka pengamen akan melakukan aktivitas menyanyikan lagu, tetapi apabila yang bersangkutan menolak maka pengamen akan segera berlalu dan berpindah ke tempat lain. bahasa yang digunakan para pengamen KAPAS

dalam berkomunikasi dengan para pendamping  dan pengamen di luar KAPAS (bukan

kelompoknya).

P              : Kemarin itu ada anak-anak yang ketangkap. Masalah nyabu dipinggir jalan, katanya

nggak boleh. Itukan mengganggu lingkungan situ juga. Lagian di mata umum

itu kan sesuatu yang bahaya. Jadi wajar kalo tidak dibolehkan.

MT         : Dilaporkan atau gimana?

P              : Nggak ada yang nglapor. Petugas kepolisian pas keliling waktu itu.

MT         : Polsek ya?

P              : Nggak tahu. Lha wong nyandangnya nggak dines kok.

MT         : Preman ireng-ireng ngana kae? ‘Preman hitam-hitam kayak gitu?’

MT         : Iya.

Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang  pendamping dengan anggota KAPAS. Bahasa yang digunakan campuran dari bahasa Indonesia yang bercampur dengan leksikon bahasa Jawa. Campur kode yang terjadi diucapkan MT selaku pendamping bertujuan menghilangkan jarak dan mengakrabkan hubungan dengan P selaku

pengamen KAPAS. Dari tuturan tersebut terlihat bahwa pengamen mengadukan permasalahan yang terjadi, baik terkait dengan dirinya sendiri  maupun terkait permasalahan di Jebres, Panggung. Pengamen itu mengatakan bahwa kondisinya sedang tidak sehat dan memberitahukan ada beberapa anggota KAPAS dari bus ke bus kena razia petugas keamanan karena para pengamen tersebut diketahui sedang dalam keadaan mabuk. Bahasa percakapan yang digunakan pengamen KAPAS kepada pendamping lebih banyak mengunakan bahasa Indonesia, meski dimasukkan juga bahasa Jawa. Para pengamen KAPAS merasa lebih menghargai dan menghormati pendamping jika menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari tuturan di atas, meskipun pendamping berusaha mengalihkan bahasa dengan bahasa Jawa namun pengamen KAPAS tetap menggunakan bahasa Indonesia. Kalaupun pengamen terpengaruh dengan pancingan bahasa Jawa yang dituturkan pendamping, itupun hanya sepatah atau beberapa patah kata saja kemudian beralih kembali ke bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk register pengamen KAPAS diambil dari kosakata di bidang militer seperti sektor,

kosakata bidang hukum, kosakata dibidang medis seperti kata operasi, dan kosakata bidang lainnya. Dalam register pengamen, para pengamen KAPAS menciptakan beberapa kosakata khusus yang telah dikonvensikan dalam pemakaiannya. Dalam artian bahwa setiap pengamen KAPAS mengetahui arti dan sekaligus memahami maksudnya. Pemakaian kosakata ini terkadang hanya dikenal oleh anggota KAPAS yang terjun dalam dunia mengamen. Lebih jelasnya dapat diperhatikan pada contoh databerikut ini.

P              : Aku arep ciyak dhisik, melu ra? ‘Aku mau makan dulu, ikut tidak?’

MT         : Rak! Aku arep operasi. ‘Tidak! Aku mau operasi’

Dari data tersebut, yang termasuk register pengamen adalah kata operasi. Kata operasi di sini tidak berhubungan dengan dunia medis atau dunia pengobatan. Menurut aliran transformasi kata operasi mempunyai deep structure tidak hanya satu, melainkan banyak makna bergantung pada maksud penutur dan konteks tuturan yang dihasilkan. Kata operasi bisa berarti: (1) mengadakan razia, (2) mengadakan pencurian, (3) mengadakan serangan, (4) mendrop bahanbahan makanan ke pasar, (5) mencari mangsa, dan (6) pembedahan. Kata operasi pada nomor (1) biasa digunakan oleh pihak keamanan atau kepolisian, nomor (2) biasa digunakan oleh komplotan penjahat, nomor (3) biasa digunakan pihak militer, nomor (4) biasa

digunakan oleh ahli ekonomi, nomor (5) biasa digunakan di dunia pelacur, dan nomor (6) biasa digunakan dalam dunia medis atau kedokteran. Kata operasi yang termasuk dalam register pengamen ini memiliki arti melakukan aksi atau bekerja dengan cara mencari pendengar yang mau memberikan uang jasa kepada pengamen. Dengan kata lain pengamen bekerja dengan cara mengamen, menjual jasa suara dan alat musik untuk mendapatkan imbalan jasa.

P              : Ngati-ati sepur kelinci sering operasi. ‘Hati-hati sekarang kereta kelinci sering operasi’

MT         : Tenanan ki? ‘Sungguhan ini?’

P              : Emang tampangku pitu wolunan! ‘Emang tampangku tujuh delapanan!’

Dari data di atas, yang termasuk register pengamen adalah kata sepur kelinci dan pitu wolunan. Kata sepur kelinci ‘kereta kelinci’ dalam konteks pengamen berarti mobil polisi yang biasa digunakan untuk patroli dan merazia para pengamen liar (Jawa: mobil garukan). Pitu

wolunan digunakan untuk menyebut para pengamen yang biasa melakukan penipuan.

Dalam hal ini pitu wolunan dikaitkan adanya pasal 78 dalam KUHP yang menyatakan tindak penipuan.

P              : Kowe wis nyumbang nggo Romi? Rencanane sesuk arep tilik nyang  sel.‘Kamu sudah menyumbang Romi? Rencananya besok mau menjenguk ke sel

MT         : Aku arep midhuk, golek dhit sik.‘Aku mau turun, cari uang dulu’

Kata midhuk ‘turun’ termasuk rgister pengamen yang memiliki arti menarik uang dari para pengamen sebagai setoran yang dijadikan  sebagai uang kas, biasanya digunakan untuk keperluan bersama para anggota. Aktivitas ini biasa dilakukan oleh orang yang tugasnya mengkoordinir keuangan yang ada di organisasi profesi tersebut.

P              : Aku dhisik sing munggah ya? ‘Aku dulu yang naik ya?’

MT         : Nunggu jatah sik. ’Menunggu jatah dulu.’

Kosakata khusus dari data di atas yang termasuk register pengamen adalah kata munggah ‘naik’. Kata ini biasa digunakan pengamen estafet (dari bus ke bus) untuk menyebutkan tindakan awal memulai aktivitas mengamen di bus. Ini ada  kaitannya dengan permulaan ketika orang akan  naik bus, langkah pertama yang harus dilakukan untuk memulai adalah dengan naik atau dalam

bahasa Jawanya munggah.

P              : Dilaporkan atau gimana?

MT         : Nggak ada yang nglapor. Petugas kepolisian pas keliling waktu itu.

P              : Polsek ya?

MT         : Nggak tahu. Lha wong nyandangnya nggak dines kok.

P              : Preman ireng-ireng ngana kae? ‘Preman hitam-hitam kayak gitu?’

Percakapan di atas dilakukan oleh pendamping (P) dan pengamen KAPAS (MT) yang membicarakan masalah penangkapan anggota KAPAS, karena dunia pengamen tidak terlepas dari adanya penangkapan oleh petugas keamanan. Di dalam kerjanya pengamen selalu

dihantui petugas keamanan yang biasanya menertibkan keberadaan pengamen. Kosakata preman ireng-ireng dalam dunia pengamen KAPAS digunakan untuk menyebut

aparat kepolisian atau petugas keamanan yang bertugas menangkapi para pengamen liar.

Penangkapan -biasa disebut garukan oleh pengamen- biasanya dilakukan pihak  epolisian

dengan menyamar menjadi orang biasa, tidak menggunakan pakaian dinas, dan seringnya

menggunakan pakaian bebas berwarna hitam. Untuk menyebut polisi yang bertugas seperti itu maka pengamen memiliki kosakata khusus tersendiri yaitu preman ireng-ireng ‘preman hitamhitam.’ Kosakata preman ireng-ireng muncul ketika terjadi penertiban oleh aparat kepolisian dimana para pengamen selalu menemukan petugas pada waktu beroperasi menjalankan aksinya dengan menggunakan pakaian bebas

berwarna hitam.

P              : Nyilih brompit pelukmu oleh pa ra? ‘Pinjam sepeda motormu boleh tidak?’

MT         : Aja! ‘Jangan!’

P              : Pan, arep menyang ngendhi? ‘Pan, mau pergi kemana?’

MT         : Arep mulih sik. ‘Mau pulang dulu’

P              : Kuwi brompite sapa? ‘Itu sepedanya siapa?’

Kosakata khusus yang termasuk penentu

register pengamen di KAPAS dari kedua data di atas adalah kata brompit dan brompit peluk. Kata  brompit peluk dan brompit mengacu pada alat transportasi darat yang biasa digunakan orang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Brompit peluk berarti sepeda motor, sedangkan brompit sendiri berarti sepeda. Penggunaan kata brompit dan brompit peluk diantara pengamen di KAPAS sudah bukan hal baru lagi tapi sudah  digunakan secara umum dan dipahami secara bersama.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Blackwell.

Fishman, .Joshua A. 1972. The Sociology of Language. USA: Newbury House Publisher.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terj. Asrudin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Holmes, Janet.1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Great Britain: Cambridge University Press.

J.B. dan Janet Holmes. 1976. Sociolinguistics. England: Penguin Education, Penguin Book Ltd.

Thomas linda dan shan wareing 2007 bahasa, masyrakat dan kekuasaan Pustaka pelajar

Wardaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.